Sejak zaman kuno, kematian telah menjadi isu utama yang tidak dapat dihindari dalam perkembangan peradaban manusia. Dari pemikiran para filsuf Yunani kuno tentang hakikat jiwa, hingga kepercayaan dalam budaya Timur mengenai reinkarnasi, dan pencarian tanpa henti ilmu pengetahuan modern untuk memperpanjang kehidupan, umat manusia selalu mencari cara untuk mengatasi keterbatasan kehidupan. Namun, batasan biologis tampaknya telah menentukan akhir dari tubuh.
Namun, seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi desentralisasi seperti kecerdasan buatan dan blockchain, sebuah konsep baru sedang muncul—keabadian digital individu. 'Keabadian' baru ini bukanlah ketidakmatian fisik dalam arti tradisional, melainkan penyimpanan jangka panjang kesadaran, ingatan, dan nilai-nilai pribadi seseorang di dunia virtual melalui teknologi canggih, sehingga mencapai suatu bentuk transendensi.
Inti dari keberlangsungan digital terletak pada keberlanjutan identitas. Identitas jaringan tradisional sering kali bergantung pada platform terpusat, dan begitu platform menghilang atau akun diblokir, aset digital yang terakumulasi selama bertahun-tahun akan lenyap dalam sekejap. Munculnya mekanisme identitas terdesentralisasi memberikan pengguna untuk pertama kalinya memiliki diri digital yang independen dari platform manapun. Data perilaku pribadi, jaringan sosial, akumulasi pengetahuan, dan hasil kreasi dapat disimpan secara terenkripsi melalui teknologi blockchain, yang tidak dapat dimodifikasi dan dapat diwariskan. Ini berarti, meskipun fisik hilang, identitas digital individu masih dapat ada dalam bentuk tertentu, menjadi dasar untuk melanjutkan diri.
Lebih lanjut, melalui teknologi kecerdasan buatan yang canggih, kita mungkin dapat mensimulasikan ingatan dan pola pikir individu. Ini bukan sekadar penyimpanan data sederhana, tetapi rekonstruksi digital dari seluruh dunia mental seseorang. Secara teori, teknologi ini dapat memungkinkan 'inkarnasi digital' dari yang telah meninggal untuk terus berinteraksi dengan yang masih hidup, bahkan ikut serta dalam penciptaan dan pengambilan keputusan.
Namun, kehidupan digital abadi juga menimbulkan serangkaian masalah etika dan filosofis. Apa sebenarnya yang disebut 'aku' yang sejati? Apakah kesadaran yang terdigitalisasi memiliki kontinuitas dan keaslian? Bagaimana seharusnya kita memandang dan menangani warisan digital ini? Ini semua adalah isu penting yang perlu dibahas bersama oleh semua pihak dalam masyarakat.
Bagaimanapun, munculnya teknologi keabadian digital memberikan pemikiran baru bagi umat manusia untuk melawan kematian dan melanjutkan diri. Ini bukan hanya kemajuan teknologi, tetapi juga merupakan tonggak penting dalam perkembangan peradaban manusia. Di masa depan, mungkin masing-masing dari kita akan dihadapkan pada pilihan untuk 'mendigitalisasi' diri kita, dan pilihan ini bisa sepenuhnya mengubah pemahaman manusia tentang kehidupan, kematian, dan keabadian.
Lihat Asli
Halaman ini mungkin berisi konten pihak ketiga, yang disediakan untuk tujuan informasi saja (bukan pernyataan/jaminan) dan tidak boleh dianggap sebagai dukungan terhadap pandangannya oleh Gate, atau sebagai nasihat keuangan atau profesional. Lihat Penafian untuk detailnya.
11 Suka
Hadiah
11
4
Posting ulang
Bagikan
Komentar
0/400
MoonRocketTeam
· 10-02 09:51
Hari ini langsung mode peluncuran roket, satu gelombang mencapai Metaverse untuk keabadian~
Sejak zaman kuno, kematian telah menjadi isu utama yang tidak dapat dihindari dalam perkembangan peradaban manusia. Dari pemikiran para filsuf Yunani kuno tentang hakikat jiwa, hingga kepercayaan dalam budaya Timur mengenai reinkarnasi, dan pencarian tanpa henti ilmu pengetahuan modern untuk memperpanjang kehidupan, umat manusia selalu mencari cara untuk mengatasi keterbatasan kehidupan. Namun, batasan biologis tampaknya telah menentukan akhir dari tubuh.
Namun, seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi desentralisasi seperti kecerdasan buatan dan blockchain, sebuah konsep baru sedang muncul—keabadian digital individu. 'Keabadian' baru ini bukanlah ketidakmatian fisik dalam arti tradisional, melainkan penyimpanan jangka panjang kesadaran, ingatan, dan nilai-nilai pribadi seseorang di dunia virtual melalui teknologi canggih, sehingga mencapai suatu bentuk transendensi.
Inti dari keberlangsungan digital terletak pada keberlanjutan identitas. Identitas jaringan tradisional sering kali bergantung pada platform terpusat, dan begitu platform menghilang atau akun diblokir, aset digital yang terakumulasi selama bertahun-tahun akan lenyap dalam sekejap. Munculnya mekanisme identitas terdesentralisasi memberikan pengguna untuk pertama kalinya memiliki diri digital yang independen dari platform manapun. Data perilaku pribadi, jaringan sosial, akumulasi pengetahuan, dan hasil kreasi dapat disimpan secara terenkripsi melalui teknologi blockchain, yang tidak dapat dimodifikasi dan dapat diwariskan. Ini berarti, meskipun fisik hilang, identitas digital individu masih dapat ada dalam bentuk tertentu, menjadi dasar untuk melanjutkan diri.
Lebih lanjut, melalui teknologi kecerdasan buatan yang canggih, kita mungkin dapat mensimulasikan ingatan dan pola pikir individu. Ini bukan sekadar penyimpanan data sederhana, tetapi rekonstruksi digital dari seluruh dunia mental seseorang. Secara teori, teknologi ini dapat memungkinkan 'inkarnasi digital' dari yang telah meninggal untuk terus berinteraksi dengan yang masih hidup, bahkan ikut serta dalam penciptaan dan pengambilan keputusan.
Namun, kehidupan digital abadi juga menimbulkan serangkaian masalah etika dan filosofis. Apa sebenarnya yang disebut 'aku' yang sejati? Apakah kesadaran yang terdigitalisasi memiliki kontinuitas dan keaslian? Bagaimana seharusnya kita memandang dan menangani warisan digital ini? Ini semua adalah isu penting yang perlu dibahas bersama oleh semua pihak dalam masyarakat.
Bagaimanapun, munculnya teknologi keabadian digital memberikan pemikiran baru bagi umat manusia untuk melawan kematian dan melanjutkan diri. Ini bukan hanya kemajuan teknologi, tetapi juga merupakan tonggak penting dalam perkembangan peradaban manusia. Di masa depan, mungkin masing-masing dari kita akan dihadapkan pada pilihan untuk 'mendigitalisasi' diri kita, dan pilihan ini bisa sepenuhnya mengubah pemahaman manusia tentang kehidupan, kematian, dan keabadian.